HUBUNGAN KRITIK SASTRA DENGAN SOSIOLOGI

Perkembangan kritik sastra Indonesia dalam dekade tahun 1980-an ditandai de-ngan munculnya beberapa pembicaraan mengenai sosiologi sastra atau pendekatan sosio-logis terhadap karya sastra. Dalam konteks ini, kritik sastra sesungguhnya mencoba me-manfaatkan disiplin ilmu lain (sosiologi) untuk memberi penjelasan lebih mendalam menge-nai salah satu gambaran kemasyarakatan yang terdapat dalam karya sastra. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai hubungan kritik sastra dengan sosiologi, muncul lantaran ada anggapan bahwa karya sastra merupakan cermin masyarakat. Karya sastra juga dianggap sebagai ptret kehidupan masyarakat dan gambaran semangat zamannya. Dalam hal ini, karya sastra dianggap sebagai gambaran “struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas dan lain-lain.”

Pandangan demikian sesungguhnya jangan ditafsirkan secara lugas, letterlijk. Dalam hal ini, kita masih perlu menjernihkannya lagi. Rene Wellek dan Austin Warren, Swingewood dan David Daiches, sebagaimana yang dikutip Sapardi Djoko Damono (1984) mengungkapkan sejumlah keberatan atas pandangan itu. Persoalan itu, seperti telah disebutkan, sebenarnya bersumber dari campur tangan sosiologi –sebagai disiplin tersendiri– dalam kegiatan kritik sastra.

Keberatannya sendiri berkisar pada keraguan bahwa sosiologi akan mampu menje-laskan aspek-aspek unik dalam karya sastra. Soalnya, pengarang mustahil dapat menang-kap situasi sosial zamannya secara lengkap. Bagaimanapun, yang diungkapkan pengarang tentang kehidupan menurut pengalamannya sendiri. Ia tidak mungkin dapat menuangkan semua pengalamannya. Fakta yang ditampilkan adalah fakta yang sudah diseleksi. Hanya fakta yang dianggapnya penting yang perlu dituangkan.

Dengan demikian, gambaran masyarakat dalam karya sastra tak lagi persis sama dengan keadaan masyarakat yang sebenarnya. Kehidupan yang digambarkan pengarang adalah kehidupan yang hanya ada dalam karya itu sendiri; sebuah “dunia” yang bersumber dari pengalaman pengarang yang telah mengalami proses penghayatan, penafsiran dan pemaknaan atas semua itu. Hasilnya lalu dituangkan lewat medium bahasa setelah dibaluri imajinasi. Jadi, anggapan sastra sebagai potret kehidupan, sesungguhnya merupakan potret rekaan pengarang, bukan potret kehidupan itu sendiri. Bukan pula fakta atau keadaan masyarakat an sich! Fakta lalu menjadi fiksi.

Beberapa hal itulah yang menyebabkan penelitian sosiologis yang semata-mata bersumber dari karya sastra, tidak cuma akan mencabut tempat karya itu sendiri, tetapi juga akan memperlakukan karya itu sebagai dokumen sosial yang mengungkapkan secara utuh fakta-fakta sosial. Itu, tentu saja menyesatkan.

Sesungguhnya begini: sosiologi tetap punya arti penting bagi kritik sastra sejauh tetap menempatkan karya itu bukan sebagai objek sosiologi. Sosiologi berfungsi cuma sebagai alat bantu agar lebih memahami berbagai aspek sosial yang menjadi muatan karya sastra. Anggapan bahwa sastra sebagai cermin masyarakat, harus pula ditafsirkan sebagai masyarakat dalam karya yang bersangkutan yang erat kaitannya dengan latar sosio – budaya pengarangnya.

Persoalan ini akan menjadi jelas jika kita menempatkan karya sastra pada proporsinya. Dunia dalam karya tidak hanya berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya, tetapi juga ia mempunyai norma-norma yang juga berbeda dengan norma atau kaidah dalam ilmu lain. Karya sastra atau teks sastra dapat dengan bebas menggunakan bahasa yang maknanya ambigu (konotatif), yang dalam teks ilmu lain justru dihindarkan. Ada konvensi tertentu dalam dunia sastra yang sama sekali tidak berlaku dalam ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu pula, dalam kegiatan kesastraan masalah ketaksaan (ambiguitas) ditempatkan sebagai salah satu bagian penting dalam memahami dan menafsirkan makna karya sastra yang bersangkutan.

Jika ilmu lain hendak membantu kegiatan kritik sastra, maka anggapan sastra sebagai cermin masyarakat mesti ditempatkan dalam konteks konvensi sastra. Dengan demikian, penafsiran karya sastra lewat kacamata sosiologi, lebih merupakan usaha penafsiran karya sastra dalam maknanya yang sekunder; makna sekunder karena penafsirannya berasal dari hubungan makna karya itu (internal) dengan dunia di luar (eksternal). Bantuan sosiologi atau sebut saja pendekatan sosiologis, terhadap karya sastra sebenarnya merupakan usaha penafsiran, pemahaman dan pemaknaan unsur-unsur intrinsik karya itu dan menghubungkaitkannya dengan dunia di luar itu (unsur ekstrinsikalitas).

Dengan cara menempatkan kedudukan karya sastra dan sosiologi secara proporsional, maka pandangan bahwa sastra sebagai “cermin kehidupan”, “cermin sosial” atau gambaran “semangat zamannya” tetap dalam kerangka lingkup pendekatan intrinsik-ekstrinsik: intrinsik jika pemaknaannya hanya atas dasar unsur-unsur yang membangunnya, dan ekstrinsik jika ia dihubungkan dengan faktor-faktor di luar karya itu sendiri.

Masalah teoretis mengenai hubungan sosiologi (masyarakat) dengan sastra telah cukup jelas dipaparkan Rene Wellek dan Austin Warren (Teori Kesusastraan, 1989) Sapardi Djoko Damono (Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar, 1984) atau Andre Hardjana (Kritik Sastra: Sebuah Pengantar, 1981). Namun tentu kita tidak perlu terburu-buru menerima atau menolaknya. Jangan pula dilupakan penerapan hal yang bersifat teoretis itu terhadap karya sastranya itu sendiri. Dengan cara ini, akan tampak betapa hubungan sastra dan masyarakat sebenarnya tidak dapat diabaikan begitu saja dalam kegiatan kritik sastra.

Grebstein (1968), mengungkapkan: pemahaman atas karya sastra hanya mungkin dapat dilakukan secara lebih lengkap apabila karya itu tidak dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan atau atau peradaban yang menghasilkannya. Dikatakannya juga bahwa karya sastra sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural.



Pernyataan itu mengisyaratkan perlunya menghubungkan faktor sosio-budaya dalam usaha memahami karya sastra selengkapnya. Dari hubungan ini akan tampak bahwa dalam beberapa hal, ungkapan sastra sebagai cermin masyarakat mempunyai nilai kebenaran. Apalagi jika ternyata kita tidak memperoleh bahan tertulis tentang karya itu.

* * *

Dalam kasus Sejarah Melayu atau karya-karya Abdullah Munysi, boleh jadi penjelasan lewat kacamata sosio-budaya, akan memberi gambaran mengenai tata kehidupan masyarakat Melayu pada masa itu. Sejumlah karya sastra lain, khususnya novel, dalam beberapa hal mengandung nilai-nilai cermin masyarakat. Novel Shansiro (1910), Natsume Soseki, misalnya, secara jelas menggambarkan terjadinya perubahan sikap budaya masyarakat Jepang pada masa awal Restorasi Meiji. Karya George Orwell, Nineteen Eighty-Four (1984) atau Animal Farm (1945) akan lebih jelas jika kita menghubungkannya dengan situasi sosial dan semangat zamannya.

Demikian juga novel, dalam khazanah kesusastraan kita. Tak sedikit yang terasa nilai ar-tistiknya jika kita menghubungkannya dengan faktor-faktor ekstrinsik. Warisan, Chairul Harun (1979) dan Bako (1983) Darma Moenir malah terkesan sebagai sisi negatif cermin masyarakat Minangkabau. Gambaran potret masyarakat tertentu, tampak dalam novel Upacara (1978) Korrie Layun Rampan (Dayak), Sri Sumarah (1985), Para Priyayi (1990), Umar Kayam dan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (Jawa) atau Bila Malam Bertambah Ma-lam (1971) Putu Wijaya (Bali). Tentu saja kita masih dapat menderetkan lebih jauh mengenai karya-karya sastra kita yang sarat menggambarkan kondisi masyarakat kita yang multi-etnik.

Karya sastra yang menampilkan cermin masyarakat tampak lebih dominan terdapat pada novel daripada puisi atau drama, meski tidak sedikit pula drama dan puisi yang dihasilkan sas-trawan-sastrawan kita, sarat menampilkan gambaran demikian. Khusus mengenai novel, ada ke-cenderungan masalah tersebut berkaitan dengan warna lokal atau gambaran tradisi masyarakat tertentu. Jadi, tidak semua karya sastra dapat secara leluasa dianalisis berdasarkan pendekatan sosiologis. Dalam hal ini, cermin masyarakat itupun mesti selalu dalam konteks konvensi sastra.

Mengingat pengarang tidak dapat melepaskan diri dari situasi sosio-budaya yang me-lingkarinya, maka pendekatan sosio-budaya untuk menjelaskan karya sastra, masih amat diper-lukan. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan keanekaragaman tradisi sosio-budaya pengarang kita. Masalahnya akan terasa penting saat kita mencoba menganalisis novel zaman Balai Pustaka. Analisis intrinsik hanya akan menghasilkan kesimpulan bahwa tema novel-novel itu berkisar pa-da persoalan adat; tokoh hitam-putih; amanat eksplisit, yang justru mengurangi nilai artistiknya. Padahal, novel Sitti Nurbaya atau Salah Asuhan, dalam beberapa hal justru mencerminkan ke-adaan masyarakat pada masa itu. Persoalannya memang kompleks. Ia berkaitan dengan kebijak-sanaan Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial dan situasi sosial serta semangat zamannya.

Betapapun pendukung strukturalisme menolak anggapan bahwa karya sastra merupakan cermin masyarakatnya, dan mereka menekankan pentingnya otonomi sastra, kita tetap dapat menempatkan pada proporsinya. Dalam kritik sastra kita pendekatan ekstrinsik masih tetap penting. Memutlakkan salah satu pendekatan sebagai yang terbaik, tidaklah tepat; tidak sesuai dengan tradisi ilmiah. Jadi, pendekatan sosiologis atau sosio-kultural, perlu terus digalakkan untuk mengangkat berbagai tradisi kultural masyarakat kita yang multi-etnis. Justru dalam hal itulah, kekayaan sastra Indonesia menjadi sangat khas Indonesia dibandingkan dengan kesusastraan negara lain. Dengan cara ini kita masih akan menemukan nilai cermin masyarakat atau nilai lain, sejauh tetap menempatkan secara kontekstual dan proporsional.

Related Posts: