Tenun Mandar
Tenun Mandar Tangan terampil menari di atas benang-benang. Di bawah rumah
panggung khas Mandar, seorang perempuan Mandar bernama Mudia, menekuni kain
tenun yang tengah dibuatnya. Mudia adalah warga Desa Bonde di Kecamatan
Pamboang, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.
“Ini
tradisi dari lama. Kalau Bapak yang nelayan pergi melaut, Ibu di rumah menenun
supaya tidak ada yang menganggur,” ceritanya sambil sibuk menenun.
Ya,
sejak lama, suku Mandar bermatapencaharian sebagai nelayan. Daerah Sulawesi
Barat yang dihuni suku Mandar memang berada di daerah pesisir. Saat para
laki-laki melaut, maka istri mereka menenun kain.
Nelayan
bisa pergi melaut hingga berhar-hari. Sambil menunggu suami pulang, sang istri
pun tetap bisa menghasilkan uang dengan berjualan kain.
Bunyi
kayu beradu khas alat tenun tradisional. Murdia begitu lincah memainkan
gulungan benang dan membuat motif pada kain yang ditenunnya. Ia biasa
menyelesaikan selembar kain tenun sendirian selama sepuluh hari.
“Kalau
bagi tugas, bisa selesai empat hari,” tuturnya.
Bagi tugas
yang ia maksud adalah mulai dari tugas mencelup benang ke pewarna, lalu tugas
menggelung benang, dan barulah tugas menenun. Rata-rata kain yang dia buat
memiliki lebar 70 centimeter dengan panjang sekitar satu setengah meter.
Benang
yang ia pakai adalah sutera. Pulau Sulawesi terutama Sulawesi Selatan memang
penghasil benang sutera. Sulawesi Barat sendiri merupakan provinsi baru hasil
pemekaran Sulawesi Selatan. Murdia menuturkan, sehelai kain biasa ia jual
dengan harga Rp 400.000.
“Yah,
modal benang Rp 200.000,” katanya.
Ada
beberapa sure atau motif khas Mandar. Salah satunya selintas mirip dengan kain
sarung. Motif Parara merupakan motif yang biasa dikerjakan, bentuknya
kotak-kotak. Warna-warna khas tenun Mandar adalah warna dingin seperti hitam
dan hijau gelap, selain juga warna merah gelap.
Jadi,
jika berkesempatan mampir ke Majene, berkunjunglah ke Desa Bonde untuk melihat
proses pembuatan kain tenun khas Mandar secara tradisional. Lokasi desa ini
sekitar tujuh kilometer dari pusat kota Majene.
Saat
memasuki desa ini, suasana tradisional masih kental terasa dengan rumah-rumah
panggung dari kayu yang berusia ratusan tahun dan cara hidup masyarakat yang
juga masih memegang teguh adat-istiadat Mandar