TIKUS TIKUS DI NEGRIKU
Cerpen untuk para Korupsi :Trotoar ini rasanya dingin, kulitku serasa membeku diatas dua
lembar koran bekas yang kujadikan alas, tidak sampai mati rasa, namun yang
lebih kejamnya lagi, suara kendaraan tak pernah berhenti sama sekali, telingaku
rasanya sudah aus, tapi aku tidak peduli.
Aku bangun pagi-pagi sekali, sedari sore kurasakan beratnya membawa karung berisi beberapa botol plastik yang berhasil kupungut, berat karena aku bersaing sampai malam, mencoba memetik rezeki di kolong sampah bumi ini.
Lalu aku kebingungan, karungku kosong, seseorang yang licik dan biadab sepertiku mencurinya, hatiku menyesal tiada guna, mendoakan kutukan menghampirinya dengan segera.
Aku bangun pagi-pagi sekali, sedari sore kurasakan beratnya membawa karung berisi beberapa botol plastik yang berhasil kupungut, berat karena aku bersaing sampai malam, mencoba memetik rezeki di kolong sampah bumi ini.
Lalu aku kebingungan, karungku kosong, seseorang yang licik dan biadab sepertiku mencurinya, hatiku menyesal tiada guna, mendoakan kutukan menghampirinya dengan segera.
Karena betapapun aku tahu, ada banyak di negeri ini yang bernasib
sama sepertiku, tapi mereka masih punya pikiran yang sehat dan nurani yang
bijak, biarpun tiap hari aku mendapat cemooh orang-orang yang menganggap diri
mereka lebih baik daripada aku saat aku melintas di depan kaki mereka, tapi
hati ini serasa tegar dan telinga ini serasa sudah mengabaikan hal itu, karena
aku berpegang teguh pada prinsipku.
Atau setidaknya itulah usaha nyataku.
Kebetulan aku melintas di depan alun-alun kota ini, aku merasa sangat beruntung saat melihat kerumunan manusia yang membawa spanduk kebencian dan bersorak menggugat terhadap pemimpin mereka meminum air mineral, membuang botolnya berserakan, “Biar, biarkan, jangan dibersihkan dulu”, harapku.
Tergesa-gesa aku saat melihat kawan sepertiku, kenapa tidak aku saja yang menjadi orang pertama disini, sehingga aku dapat mengisi perut keluargaku, menyekolahkan anak-anakku, dan berharap mereka menjadi orang yang lebih berguna daripada bapaknya, lebih terpuji daripada bapaknya, dan lebih berarti pada negara.
Aku mendekat, kudengar mereka bersorak berjingkat-jingkat penuh semangat menggeliat berpegang pada pengeras suara mereka “Turunkan walikota, sebelum tanah ini dimakannya habis, sebelum orang-orang menjadi pemulung di tanahnya sendiri, kita harus bertindak tegas terhadap politisi yang berzina dan korupsi, atau negeri ini akan tertimpa musibah gempa Jogja atau tsunami Aceh karena pemimpinya berdosa dan zalim!”, hatiku bergetar kuat saat mendengar profesi hinaku di sebut.
Ah, Apa benar aku ini korban pemimpin tanah ini? Kenapa aku baru tahu kalau di tanah ini ada pemimpinya? Padahal aku merasa tidak ada sesuatupun yang memperhatikan orang sepertiku, apalagi pemimpin negeri, sampai-sampai aku melupakanya.
Kalau begitu bukan hanya aku saja, semua orang pasti akan mendoakan kehancuran pada pemimpin yang seperti itu, aku setuju dan sangat mendukung, jadilah aku salah satu di antara mereka, aku ikut berdemonstrasi secara tidak langsung dengan puluhan ribu masa yang menyimpan amarah kebijakan, yang menyeru pada kebaikan, bukankah itu yang di ajarkan agama mereka? Apa para pemimpin tidak memiliki agama?
Padahal di jalan-jalan raya yang terdapat pohon-pohon di trotoarnya, terpampang jelas wajah-wajah manis para pejabat yang gila akan jabatan dan mengidolakan kesenangan pribadi dengan peci hitam atau kerudung jilbab yang rapat, bersemboyan dengan bahasa yang memikat namun berakibat menjerat nantinya, “Pilih saya, niscaya negeri ini akan makmur dan jaya”, atau “Mari kita jadikan negeri ini lebih baik dan bersaing dengan negeri lain”, aku menyayangkan pohon-pohon itu, dengan rela mereka ditusuk paku-paku dan menyebarkan iklan palsu para tikus-tikus negeri.
Penuh sudah karung ini, padahal hari belum menjelang malam, aku bersyukur karena-bisa pulang lebih cepat, bisa makan malam dengan keluargaku dirumah.
Lalu aku bertemu sahabatku di tengah jalan di depan stasiun kereta, di jalan raya sempit yang rusak dan penuh lobang, kurasa ini akibat dari pemimpin negeri ini selama ini, sahabatku itu membawa gerobak panjang berisi berbagai macam kertas bekas.
Aku menyapanya seperti biasa, “Bagaimana hasilmu seharian ini?”.
Ia tersenyum, tidak seperti biasanya, “Aku mendapat berkilo-kilo kertas, lebih banyak dari biasanya, bagaimana denganmu? Kenapa pulang cepat?”, tanyanya penasaran, maklumlah, biasanya aku pulang menjelang tengah malam.
“Aku sangat beruntung saat pergi melintas di depan alun-alun kota . . . ” belum selesai aku menjawab ia langsung menyambung.
“Oh iya, kabarnya walikota akan di turunkan paksa, tentusaja demonstrasi ada dimana-mana, apalagi alun-alun kota”, dan lagi-lagi aku mendengar hal ini, padahal aku sudah tau dan aku berusaha mengabaikan hal ini.
Sahabatku menjauh, ia mendahuluiku.
***
Lalu beberapa bulan kemudian, aku merasa hidupku sama saja, masih menjadi orang yang hina dengan hati nurani yang tak di dengar.
Aku mengais botol-botol di bak sampah Univertas kota, aku melihat para mahasiswa dengan pakaian rapi dan tawa yang berkepanjangan masuk kedalam Univertas.
Aku baru sadar, Univertas ini mengkhususkan jurusan politik, aku mulai berpikir bahwa bangunan besar dengan sepuluh lantai inilah yang mencetak para tikus-tikus negeri, aku melihat di bak sampah, selebaran tentangnya, “Mau jadi politisi? Segera daftar disini, terbukti lulusan kami paling banyak di terima di Instansi Pemerintahan!”.
Atau setidaknya itulah usaha nyataku.
Kebetulan aku melintas di depan alun-alun kota ini, aku merasa sangat beruntung saat melihat kerumunan manusia yang membawa spanduk kebencian dan bersorak menggugat terhadap pemimpin mereka meminum air mineral, membuang botolnya berserakan, “Biar, biarkan, jangan dibersihkan dulu”, harapku.
Tergesa-gesa aku saat melihat kawan sepertiku, kenapa tidak aku saja yang menjadi orang pertama disini, sehingga aku dapat mengisi perut keluargaku, menyekolahkan anak-anakku, dan berharap mereka menjadi orang yang lebih berguna daripada bapaknya, lebih terpuji daripada bapaknya, dan lebih berarti pada negara.
Aku mendekat, kudengar mereka bersorak berjingkat-jingkat penuh semangat menggeliat berpegang pada pengeras suara mereka “Turunkan walikota, sebelum tanah ini dimakannya habis, sebelum orang-orang menjadi pemulung di tanahnya sendiri, kita harus bertindak tegas terhadap politisi yang berzina dan korupsi, atau negeri ini akan tertimpa musibah gempa Jogja atau tsunami Aceh karena pemimpinya berdosa dan zalim!”, hatiku bergetar kuat saat mendengar profesi hinaku di sebut.
Ah, Apa benar aku ini korban pemimpin tanah ini? Kenapa aku baru tahu kalau di tanah ini ada pemimpinya? Padahal aku merasa tidak ada sesuatupun yang memperhatikan orang sepertiku, apalagi pemimpin negeri, sampai-sampai aku melupakanya.
Kalau begitu bukan hanya aku saja, semua orang pasti akan mendoakan kehancuran pada pemimpin yang seperti itu, aku setuju dan sangat mendukung, jadilah aku salah satu di antara mereka, aku ikut berdemonstrasi secara tidak langsung dengan puluhan ribu masa yang menyimpan amarah kebijakan, yang menyeru pada kebaikan, bukankah itu yang di ajarkan agama mereka? Apa para pemimpin tidak memiliki agama?
Padahal di jalan-jalan raya yang terdapat pohon-pohon di trotoarnya, terpampang jelas wajah-wajah manis para pejabat yang gila akan jabatan dan mengidolakan kesenangan pribadi dengan peci hitam atau kerudung jilbab yang rapat, bersemboyan dengan bahasa yang memikat namun berakibat menjerat nantinya, “Pilih saya, niscaya negeri ini akan makmur dan jaya”, atau “Mari kita jadikan negeri ini lebih baik dan bersaing dengan negeri lain”, aku menyayangkan pohon-pohon itu, dengan rela mereka ditusuk paku-paku dan menyebarkan iklan palsu para tikus-tikus negeri.
Penuh sudah karung ini, padahal hari belum menjelang malam, aku bersyukur karena-bisa pulang lebih cepat, bisa makan malam dengan keluargaku dirumah.
Lalu aku bertemu sahabatku di tengah jalan di depan stasiun kereta, di jalan raya sempit yang rusak dan penuh lobang, kurasa ini akibat dari pemimpin negeri ini selama ini, sahabatku itu membawa gerobak panjang berisi berbagai macam kertas bekas.
Aku menyapanya seperti biasa, “Bagaimana hasilmu seharian ini?”.
Ia tersenyum, tidak seperti biasanya, “Aku mendapat berkilo-kilo kertas, lebih banyak dari biasanya, bagaimana denganmu? Kenapa pulang cepat?”, tanyanya penasaran, maklumlah, biasanya aku pulang menjelang tengah malam.
“Aku sangat beruntung saat pergi melintas di depan alun-alun kota . . . ” belum selesai aku menjawab ia langsung menyambung.
“Oh iya, kabarnya walikota akan di turunkan paksa, tentusaja demonstrasi ada dimana-mana, apalagi alun-alun kota”, dan lagi-lagi aku mendengar hal ini, padahal aku sudah tau dan aku berusaha mengabaikan hal ini.
Sahabatku menjauh, ia mendahuluiku.
***
Lalu beberapa bulan kemudian, aku merasa hidupku sama saja, masih menjadi orang yang hina dengan hati nurani yang tak di dengar.
Aku mengais botol-botol di bak sampah Univertas kota, aku melihat para mahasiswa dengan pakaian rapi dan tawa yang berkepanjangan masuk kedalam Univertas.
Aku baru sadar, Univertas ini mengkhususkan jurusan politik, aku mulai berpikir bahwa bangunan besar dengan sepuluh lantai inilah yang mencetak para tikus-tikus negeri, aku melihat di bak sampah, selebaran tentangnya, “Mau jadi politisi? Segera daftar disini, terbukti lulusan kami paling banyak di terima di Instansi Pemerintahan!”.
Menggelikan dan memuakkan.
Aku tusuk-tusuk dan kulempar selebaran itu dengan tongkat pencotek yang kupakai untuk mencotek botol, kertas itu terbang dan secara tidak sengaja masuk kedalam gerobak-sahabatku, aku ingin memangiilnya, tapi untuk apa?
Gerobak penuh kertas itu lewat di atas jalan yang berlubang besar, rodanya menghentak dengan keras dan berbentur dengan aspal yang rusak, benturanya mengeluarkan bunyi yang keras sehingga aku dapat mendengarnya dari jarak sepuluh meter, membuatku seperti mendengar guntur saat langit mendung.
Sahabatku tidak sadar bahwa beberapa kertas dari gerobaknya jatuh karena hentakan tadi, ia tetap berjalan menarik gerobaknya menjauh, kertas-kertas kecil yang penuh warna itu terlihat semakin mengotori jalan yang berlubang.
Aku mendekat untuk melihatnya, berniat untuk mengambilnya lalu kuberikan pada sahabatku,karena itu adalah rezekinya.
Aku tercengang saat melihat kertas-kertas itu dan mencegah tanganku, ternyata itu adalah brosur yang berbeda-beda isinya, namun semuanya lagi-lagi membuatku muak, foto-foto para calon pejabat dengan peci hitam dan jilbab rapat, mereka berwajah manis mengumbar senyum yang menurutku di buat-buat, mengumandangkan visi dan misi bohong dengan siasat-siasat yang sepertinya akan mereka lakukan seandainya mereka terpilih, lalu bersemboyan lagi tanpa merasa ada kekurangan dalam diri mereka.
“Mari jadikan kota ini bersih, dari sampah dan dari korupsi”, padahal mereka belum tentu membersihkan jiwa mereka.
“Dengan ini mari kita jadikan kota yang yang modern dan bermartabat”, tentu mereka akan hidup dengan modern dengan uang mereka nantinya, namun mungkin tanpa martabat.
Dan masih banyak lagi, lalu aku ambil kertas-kertas itu, semuanya aku buang kedalam bak sampah, seperti semua janji mereka yang patut dianggap sampah
Barru 12-4-2013
Kamar Kecilku